Jong Sumatranen Bond

Jong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang bertujuan untuk mempererat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini dikarenakan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak.
Kelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang mengatakan bahwa Sumatra belum matang bagi sebuah politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap mendirikan perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap gerakan modern JSB sebagai ancaman bagi adat Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra.

Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden,Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya.

Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta dibantu beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan.

Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kepentingan kaum adat. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangkit dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang keperluan umum.

Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920.

Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar